slotvip
slotvip playme8
slot vip playme8
playme8slot.com
playme8slot
playme8
login playme8
daftar playme8
playme8 resmi
playme8 gacor
playme8 gacor
playme8 slot
Senin, 22 Des 2025 - :
31 Okt 2025 - 11:17 | 50 Views | 0 Suka

Konflik di Sudan, Darfur Kembali dalam Bayang Genosida dan Neraka Baru

9 mnt baca

Bayang-bayang kelam genosida kembali mengancam Darfur. Wilayah yang dua dekade lalu menyaksikan kekejaman massal kini tenggelam dalam pusaran konflik yang lebih brutal. Ratusan ribu nyawa melayang, jutaan warga mengungsi, dan dunia seolah berdiam diri menyaksikan neraka baru tercipta di jantung Sudan.

Banner Iklan In Artikel 1

Konflik di Sudan yang dimulai pada April 2023 telah berkembang menjadi salah satu krisis kemanusiaan terbesar di dunia. PBB menyebutnya sebagai bencana kemanusiaan terburuk yang kita saksikan saat ini. Lebih dari 150.000 orang tewas, 12 juta warga mengungsi dari rumah mereka, dan 24 juta orang menghadapi kelaparan akut.

Kamu mungkin bertanya, bagaimana sebuah negara yang sempat memiliki harapan transisi demokrasi bisa jatuh ke dalam jurang perang saudara yang mengerikan ini? Apa yang sebenarnya terjadi di Sudan, khususnya di Darfur? Mari kita telusuri bersama kisah tragis yang terlupakan ini.

Penyebab Konflik Sudan

Latar belakang konflik Sudan sebenarnya dimulai jauh sebelum perang saudara tahun 2023. Untuk memahami akar masalahnya, kita perlu menengok ke belakang hingga tahun 2019.

Banner Iklan In Artikel 1

Pada tahun itu, gelombang demonstrasi besar-besaran berhasil menggulingkan diktator Omar Al-Bashir yang telah berkuasa selama tiga dekade. Rakyat Sudan penuh harapan akan masa depan demokratis. Sayangnya, harapan itu pupus ketika militer mengambil alih kekuasaan.

Tahun 2021 menjadi titik balik yang krusial. Dua jenderal yang sebelumnya bersekutu—Abdel Fattah Al-Burhan dari militer Sudan (SAF) dan Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti dari pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF)—melakukan kudeta bersama yang menggulingkan pemerintahan sipil hasil transisi.

Namun, aliansi mereka tidak bertahan lama. Perselisihan mulai muncul ketika masyarakat internasional mendesak agar kekuasaan diserahkan kepada pemerintahan sipil. Rencana untuk mengintegrasikan RSF ke dalam angkatan darat nasional menjadi pemicu ketegangan yang meledak.

Al-Burhan menginginkan proses integrasi dilakukan dengan cepat di bawah komando militer penuh. Sementara Hemedti menolak keras karena khawatir kehilangan kekuasaan dan kendali atas jaringan bisnis bernilai miliaran dolar yang ia bangun, terutama dari tambang emas.

Ketegangan ini akhirnya meledak pada 15 April 2023. Pertempuran terbuka dimulai di Khartoum dan dengan cepat menyebar ke seluruh negeri, termasuk wilayah Darfur yang penuh luka bersejarah.

Perebutan Kekuasaan Terbuka

Konflik di Sudan pada dasarnya adalah perebutan kekuasaan telanjang antara dua jenderal yang dulu bersekutu. Bukan soal ideologi, bukan pula tentang demokrasi versus otoritarianisme. Ini murni tentang siapa yang akan mengendalikan Sudan dan sumber dayanya yang kaya.

RSF, pasukan paramiliter yang dipimpin Hemedti, sebenarnya punya sejarah kelam. Mereka berasal dari milisi Janjaweed yang terkenal kejam dalam konflik Darfur awal tahun 2000-an. Milisi ini didukung oleh Presiden Omar Al-Bashir dan dituduh melakukan genosida terhadap kelompok etnis Afrika non-Arab, menewaskan sekitar 300.000 orang dan memaksa 2,5 juta lainnya mengungsi.

Pada 2013, Al-Bashir meresmikan Janjaweed menjadi Rapid Support Forces. Sejak saat itu, kelompok ini tumbuh menjadi kekuatan militer independen dengan sekitar 100.000 anggota. Mereka memperoleh pendanaan besar dari tambang emas dan perdagangan senjata.

Hemedti, yang dulunya pedagang unta, berubah menjadi panglima perang super kaya setelah menguasai tambang emas paling menguntungkan di Sudan. Pada 2017, ia menggunakan RSF untuk mengambil alih tambang emas Jebel Amer di Darfur Utara. Tambang inilah yang menjadi tulang punggung kekaisaran bernilai miliaran dolar miliknya.

Menurut ahli pertambangan, RSF memproduksi sekitar 240 ton emas selama periode 2015-2022, rata-rata 32 ton per tahun. Pendapatan dari emas inilah yang memastikan RSF memiliki dana untuk operasi militer mereka.

Sementara itu, militer Sudan di bawah Al-Burhan juga tidak ingin kehilangan kontrol atas sumber daya negara. Perebutan kekuasaan ini bukan hanya soal politik, tapi juga tentang siapa yang akan menguasai kekayaan Sudan—emas, minyak, dan sumber daya strategis lainnya.

Yang membuat konflik ini semakin kompleks adalah campur tangan asing. Uni Emirat Arab dituduh memasok senjata canggih termasuk drone dan rudal kepada RSF, meski UEA terus membantahnya. Di sisi lain, militer Sudan diduga menerima senjata dari Iran dan Turki.

Rusia juga memainkan peran penting melalui Grup Wagner. Bahkan, ada laporan yang mengungkap bahwa warga negara Rusia bekerja di kompleks tambang emas yang dikuasai RSF. Emas Sudan memberikan Rusia kemampuan untuk menghindari sanksi Barat dan mengisi pundi-pundi negara.

Pembunuhan, Pemerkosaan, Dan Penjarahan

Darfur kembali dalam bayang genosida. Kalimat ini bukan sekadar hiperbola jurnalistik, tapi realitas mengerikan yang terjadi di lapangan.

Pada akhir Oktober 2025, RSF berhasil merebut El-Fasher setelah pengepungan selama 18 bulan. Kota ini dihuni sekitar 1,2 juta penduduk yang selama masa pengepungan hidup dalam kondisi mengerikan—mereka bahkan terpaksa makan pakan ternak karena tidak ada makanan atau obat-obatan yang bisa masuk.

Kejatuhan El-Fasher menandai kemenangan besar bagi RSF dan sekaligus tragedi kemanusiaan yang luar biasa. Sudan Doctors Network melaporkan bahwa setidaknya 1.500 hingga 2.000 orang tewas dalam beberapa hari setelah RSF mengambil alih kota. Mereka menyebutnya sebagai “genosida yang sesungguhnya.”

Video yang telah diverifikasi menunjukkan pasukan RSF menyiksa dan mengeksekusi warga sipil, menyerang rumah sakit dan fasilitas kesehatan. Saksi mata yang berhasil melarikan diri menceritakan bagaimana RSF pergi dari pintu ke pintu, membunuh orang berdasarkan etnis mereka.

Lebih dari 26.000 orang melarikan diri ke kota Tawila, sementara 177.000 lainnya masih terjebak di El-Fasher tanpa akses bantuan. Yale Humanitarian Research Lab menggunakan citra satelit untuk mengungkap tanda-tanda genosida—termasuk gundukan besar yang diduga berisi mayat dan genangan darah di sekitar kota.

Direktur lab tersebut, Nathaniel Raymond, mengatakan dengan tegas: “Setiap hari, tim saya dan saya menyaksikan kehancuran El-Fasher dari luar angkasa. Tidak ada yang bisa bilang mereka tidak tahu.”

Pemerkosaan sistematis menjadi senjata perang. Laporan dari berbagai lembaga hak asasi manusia mengungkap bagaimana RSF dan milisi sekutunya menggunakan kekerasan seksual secara massal terhadap perempuan dari kelompok etnis tertentu. Ini bukan kekerasan acak—ini adalah strategi yang disengaja untuk menghancurkan komunitas tertentu.

Penjarahan juga terjadi secara masif. RSF menyerbu rumah sakit, menjarah persediaan makanan terapeutik untuk anak-anak yang mengalami malnutrisi parah. Mereka membakar dapur komunitas yang menyediakan ratusan ribu porsi makanan untuk keluarga dan anak-anak yang mengungsi.

Tuduhan genosida bukan tanpa dasar. Human Rights Watch dan Amnesty International telah mendokumentasikan pembunuhan etnis yang meluas, pemerkosaan sistematis, dan kampanye pembersihan etnis yang menargetkan suku Massalit dan kelompok non-Arab lainnya di Darfur.

Apa Kata RSF?

Menariknya, di tengah bukti-bukti mengerikan tentang kekejaman yang mereka lakukan, RSF terus membantah tuduhan tersebut dan mengklaim memiliki misi mulia.

Hemedti, pemimpin RSF, menyatakan bahwa kelompoknya berusaha untuk “menyatukan Sudan” di bawah “demokrasi sejati.” Ia menambahkan bahwa setiap individu yang terbukti melakukan kejahatan terhadap warga sipil akan dimintai pertanggungjawaban.

Pernyataan ini tentu saja kontradiktif dengan fakta di lapangan. RSF belum memberikan tanggapan spesifik terhadap tuduhan pembantaian di El-Fasher atau video-video yang memperlihatkan anggota mereka melakukan eksekusi terhadap warga sipil.

Kelompok ini juga membantah keterlibatan dalam penjarahan bantuan kemanusiaan atau penyerangan terhadap rumah sakit. Namun, bukti dari satelit, saksi mata, dan organisasi kemanusiaan internasional menunjukkan sebaliknya.

RSF memposisikan diri sebagai kekuatan yang melawan militer Sudan yang korup dan otoriter. Mereka mengklaim bahwa SAF-lah yang sebenarnya melakukan kejahatan perang dan menghambat bantuan kemanusiaan.

Narasi ini tentu saja sulit diterima mengingat sejarah kelam RSF sebagai penerus Janjaweed yang melakukan genosida di Darfur dua dekade lalu. Pada dasarnya, RSF adalah kelompok yang sama yang dulu melakukan pembantaian massal, hanya dengan nama dan struktur yang sedikit berbeda.

Yang membuat situasi semakin kompleks adalah fakta bahwa kedua belah pihak—baik RSF maupun SAF—telah terbukti melakukan kejahatan perang. Amerika Serikat telah menyatakan bahwa kedua belah pihak melakukan kejahatan perang, meski hanya RSF dan milisi sekutunya yang secara resmi dituduh melakukan genosida.

Posisi Dunia Arab Dan Peran Emas

Konflik di Sudan tidak bisa dilepaskan dari dinamika geopolitik regional dan peran sentral emas sebagai pendana perang.

Uni Emirat Arab (UEA) menjadi aktor kunci yang paling kontroversial. Berbagai investigasi dari jurnalis, organisasi hak asasi manusia, dan ahli PBB mengungkap bahwa UEA memberikan dukungan material kepada RSF dengan imbalan akses ke sumber daya Sudan.

Yang membuat situasi semakin ironis adalah UEA juga mendanai pihak yang berlawanan. Tambang Kush yang dimiliki UEA di wilayah yang dikontrol pemerintah kemungkinan menghasilkan puluhan juta dolar untuk otoritas Sudan, yang kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli drone Iran, pesawat China, dan senjata lainnya.

Dengan kata lain, UEA mempersenjatai satu pihak dalam perang, sambil mendanai pihak lawan. Strategi “main api dari dua ujung” ini mengundang kemarahan banyak pihak, termasuk aktivis Sudan di diaspora yang menyerukan boikot konsumen terhadap UEA.

Pada April 2025, pemerintah Sudan mengajukan gugatan terhadap UEA ke Mahkamah Internasional, menuduh negara tersebut melanggar Konvensi Genosida. Namun, ICJ menolak kasus tersebut karena menganggap tidak memiliki yurisdiksi.

Negara-negara Arab lainnya menunjukkan posisi yang lebih lunak. Mesir, Turki, dan Qatar menegaskan kembali dukungan mereka untuk kesatuan dan kedaulatan Sudan. Yordania mengutuk kekerasan dan menyerukan penghentian kebrutalan segera untuk melindungi warga sipil.

Pada Januari 2025, Amerika Serikat mengambil langkah tegas dengan secara resmi menyatakan bahwa RSF dan sekutunya telah melakukan genosida di Sudan. Departemen Luar Negeri AS juga menjatuhkan sanksi kepada Hemedti dan tujuh perusahaan milik RSF yang berbasis di UEA atas peran mereka dalam kekejaman sistematis.

Emas tetap menjadi jantung dari konflik ini. RSF memiliki pasar siap untuk emasnya di Uni Emirat Arab, di mana 2.500 ton emas dari Afrika yang tidak dideklarasikan—senilai $115 miliar—diselundupkan antara 2012 dan 2022.

Perdagangan emas yang diselundupkan ini memungkinkan RSF untuk terus mendanai operasi militer mereka meskipun menghadapi sanksi internasional. Rusia juga terlibat dalam perdagangan emas Sudan, dengan sekitar 16-18 warga negara Rusia dilaporkan bekerja di kompleks tambang yang dikuasai RSF.

Kesimpulan

Konflik di Sudan adalah tragedi kemanusiaan yang berlapis-lapis. Di permukaan, ini adalah perebutan kekuasaan antara dua jenderal ambisius. Di bawahnya, ada perebutan sumber daya alam yang kaya, terutama emas. Dan di lapisan terdalam, ada penderitaan rakyat sipil yang tak berdosa yang menjadi korban dari permainan kekuasaan yang kejam.

Darfur kembali dalam bayang genosida bukan sekadar kemungkinan—itu adalah kenyataan yang sedang terjadi saat ini. Pembunuhan berdasarkan etnis, pemerkosaan sistematis, dan pembersihan etnis yang dilakukan RSF dan milisi sekutunya memenuhi definisi genosida menurut hukum internasional.

Latar belakang konflik Sudan yang kompleks—mulai dari warisan rezim otoriter Omar Al-Bashir, kudeta militer 2021, hingga perebutan tambang emas—menciptakan kondisi sempurna untuk bencana kemanusiaan yang kita saksikan hari ini.

Lebih dari 150.000 orang telah tewas, 12 juta warga mengungsi, dan 24 juta orang menghadapi kelaparan akut. PBB menyebutnya sebagai krisis kemanusiaan terbesar di dunia. Namun, dunia internasional tampak lebih tertarik pada kepentingan ekonomi dan geopolitik mereka sendiri daripada menghentikan pembantaian.

Upaya perdamaian terus gagal. Perundingan yang dimediasi Arab Saudi, Amerika Serikat, dan Uni Afrika berakhir tanpa hasil nyata. Keterlibatan negara-negara asing yang bermain di kedua sisi konflik membuat situasi semakin sulit untuk diselesaikan.

Yang paling tragis adalah bahwa semua pihak tahu apa yang terjadi. Citra satelit memperlihatkan pembantaian, video menunjukkan eksekusi, dan laporan organisasi kemanusiaan mendokumentasikan kekejaman. Namun, tindakan konkret untuk menghentikan genosida masih sangat terbatas.

Kamu mungkin bertanya, apa yang bisa dilakukan? Sebagai individu, kamu bisa mulai dengan menyebarkan kesadaran tentang tragedi Sudan. Dukunglah organisasi kemanusiaan yang bekerja di lapangan. Desaklah pemerintah untuk mengambil tindakan lebih tegas terhadap para pelaku genosida dan negara-negara yang mendukung mereka.

Sudan menunjukkan betapa rapuhnya proses transisi politik di negara yang baru keluar dari rezim otoriter. Selama kekuasaan masih diperebutkan dengan senjata, rakyat Sudan akan terus menjadi korban dari perang tanpa akhir ini.

Darfur pernah disebut sebagai genosida abad ke-21 yang pertama. Dua dekade kemudian, wilayah yang sama kembali tenggelam dalam neraka. Pertanyaannya: apakah dunia akan membiarkan sejarah berulang, atau kali ini kita akan berbuat sesuatu sebelum terlambat?

Penulis Berita

Tinggalkan Balasan

Bagikan
Beranda
Bagikan
Lainnya
0%