
Soeharto pahlawan nasional kini bukan lagi sekadar wacana. Pada Senin (10/11/2025), kita menyaksikan momen bersejarah saat Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh bangsa, termasuk Presiden ke-2 RI Soeharto dalam acara kenegaraan di Istana Negara, Jakarta. Penganugerahan ini bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan Nasional 2025.
Presiden Soeharto jadi pahlawan nasional setelah memimpin Indonesia selama 32 tahun. Kepemimpinannya dimulai dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 hingga pecahnya reformasi pada 1998. Upacara penganugerahan ini diawali dengan prosesi mengheningkan cipta untuk arwah para pahlawan yang dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo.
Sebagai bentuk penghargaan negara, gelar ini diberikan atas kontribusi para tokoh dalam bidang kepemimpinan, demokrasi, HAM, dan keberpihakan kepada rakyat. Selain Soeharto, kita juga melihat Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur masuk dalam daftar penerima gelar pahlawan nasional tahun ini.
Presiden Prabowo Subianto secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Jenderal Besar TNI Soeharto. Pemberian gelar ini menjadi momen bersejarah karena untuk pertama kalinya nama Presiden ke-2 RI tersebut resmi diakui sebagai pahlawan nasional setelah lebih dari dua dekade lengser dari jabatan presiden.
Upacara penganugerahan berlangsung khidmat di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025), bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan. Acara dimulai dengan pengumandangan lagu “Indonesia Raya”, kemudian dilanjutkan dengan prosesi mengheningkan cipta yang dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto.
Saat memimpin Mengheningkan Cipta, Presiden Prabowo menyampaikan, “Marilah kita sejenak mengenang arwah dan jasa-jasa para pahlawan yang telah berkorban untuk kemerdekaan, kedaulatan, dan kehormatan bangsa Indonesia yang telah memberi segala-galanya agar kita bisa hidup merdeka dan kita bisa hidup dalam alam yang sejahtera”. Dalam upacara tersebut, Prabowo mengenakan setelan jas abu-abu dengan dasi biru dan peci hitam.
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto diterima langsung oleh putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana atau yang akrab disapa Tutut Soeharto selaku ahli waris. Dalam prosesi penyerahan gelar tersebut, Tutut didampingi oleh adiknya, Bambang Trihatmodjo. Momen bersejarah ini juga disaksikan oleh putri Soeharto lainnya yaitu Siti Hediyati beserta putranya Ragowo Hedi Prasetyo.
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto didasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Keppres tersebut ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 November 2025.
Soeharto menerima gelar sebagai pahlawan di bidang Perjuangan Bersenjata dan Politik, atas jasa dan peran menonjolnya sejak masa kemerdekaan. Dalam Keppres tersebut tertulis, “Menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada mereka yang namanya tersebut dalam lampiran keputusan ini sebagai penghargaan dan penghormatan yang tinggi, atas jasa-jasanya yang luar biasa, untuk kepentingan mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa”.
Sepuluh tokoh bangsa dari beragam latar belakang resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dalam upacara kenegaraan pada 10 November 2025. Penganugerahan ini dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/2025 yang ditetapkan di Jakarta pada 6 November 2025 dan ditandatangani langsung oleh Presiden Prabowo Subianto.
Dari sepuluh tokoh yang mendapat gelar Pahlawan Nasional 2025, mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia dengan beragam latar perjuangan:
Dalam prosesi penganugerahan, para ahli waris dari masing-masing tokoh hadir untuk menerima penghargaan. Menteri Sosial Syaifullah Yusuf atau Gus Ipul menyatakan bahwa penetapan nama-nama tersebut telah melalui proses panjang dan berjenjang, mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga ke Dewan Gelar dan Kementerian Sosial.
Keluarga Gus Dur diwakili oleh istri beliau, Sinta Nuriyah, dan putrinya, Yenny Wahid. Selain itu, ahli waris Sarwo Edhie Wibowo diwakili oleh Menko Infrastruktur Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Presiden Prabowo menyerahkan langsung tanda kehormatan kepada para ahli waris dalam upacara tersebut.
Selain Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Gus Dur dikenal sebagai tokoh pluralisme dan demokrasi yang memimpin Indonesia dari 1999 hingga 2001. Dengan ini, nama dua mantan presiden Indonesia secara resmi masuk dalam daftar pahlawan nasional tahun 2025.
Nama Marsinah, buruh perempuan yang gugur dalam memperjuangkan hak-hak pekerja di era 1990-an, juga mendapat pengakuan negara atas perjuangan dan pengorbanannya. Marsinah menjadi simbol perjuangan buruh yang akhirnya mendapat pengakuan formal dari negara setelah upaya pengajuannya yang telah diusulkan sejak tahun-tahun sebelumnya.
Acara penganugerahan dihadiri oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, Ketua MPR Ahmad Muzani, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, serta Ketua DPD Sultan Bachtiar Najamuddin.
Meski penganugerahan sudah dilakukan, kontroversi mengenai apakah Soeharto layak menyandang gelar Pahlawan Nasional masih menjadi perdebatan sengit di tengah masyarakat. Berbagai kelompok masyarakat menunjukkan respons berbeda terhadap keputusan tersebut.
Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) secara tegas menentang pemberian gelar tersebut. Mereka bahkan membuka petisi penolakan pada 8 April 2025 yang telah ditandatangani oleh 3.939 orang. Sementara itu, beberapa politikus seperti Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi justru menyatakan pemerintah tidak mempermasalahkan usulan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto.
Tokoh Nahdlatul Ulama (NU), KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) menyatakan penolakannya dengan tegas. “Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” ujarnya. Ketua PBNU Savic Ali juga menyebut Soeharto memiliki dosa besar bagi NU, termasuk melumpuhkan kekuatan ideologis partai-partai.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, mengorganisir aksi damai di depan Gedung Kementerian Kebudayaan pada 6 November 2025. Dalam aksi tersebut, korban peristiwa 1965 Bedjo Untung menyatakan kemarahan atas wacana tersebut: “Saya marah dan sangat kecewa. Bagaimana mungkin seorang pelanggar hak asasi manusia diangkat menjadi pahlawan?”
Komnas HAM telah mendokumentasikan sembilan kasus pelanggaran HAM berat di masa pemerintahan Soeharto. Mulai dari Peristiwa 1965-1966 yang menewaskan ratusan ribu hingga jutaan orang, Tanjung Priok 1984 dengan korban 24 orang meninggal, hingga penculikan aktivis 1997-1998 yang dilakukan oleh Tim Mawar Kopassus. Selain itu, TAP MPR XI/MPR/1998 telah menuduh Soeharto melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Menanggapi kontroversi, pemerintah mengutarakan sejumlah alasan kuat dibalik keputusan menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Mensesneg Prasetyo Hadi menekankan pemberian gelar ini merupakan bentuk penghormatan kepada pemimpin yang memiliki jasa luar biasa terhadap bangsa dan negara.
Pemerintah menilai Soeharto berperan penting menciptakan stabilitas nasional dan kemajuan pembangunan. Dalam bidang ekonomi, Soeharto dianggap sukses membangun ketahanan ekonomi melalui program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Prestasi lainnya meliputi swasembada beras pada dekade 1980-an, program Keluarga Berencana yang berhasil menekan pertumbuhan penduduk, serta stabilitas ekonomi dan keamanan.
Fadli Zon selaku Ketua Dewan GTK menegaskan nama Soeharto telah melalui pengkajian berlapis. Prosesnya dimulai dari kabupaten/kota, provinsi, hingga Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Tingkat Pusat Kementerian Sosial. Nama Soeharto pertama kali diusulkan tahun 2010, kemudian 2016, dan tahun 2025 menjadi kali ketiga sehingga akhirnya ditetapkan. Mensos Saifullah Yusuf menyatakan Soeharto memenuhi persyaratan sebagai calon pahlawan nasional.
Dukungan datang dari berbagai pihak, termasuk Presidium BEM PTNU Se-Nusantara. Achmad Baha’ur Rifqi menyebut Soeharto dan Gus Dur adalah figur bersejarah yang memberi warna besar bagi perjalanan Indonesia. Petinggi Muhammadiyah, Dadang Kahmad, turut menyatakan dukungan dengan alasan jasa Soeharto sejak masa revolusi kemerdekaan hingga pembangunan. Pendukung berpendapat “sebaik-baiknya pemimpin tentu memiliki kekurangan, namun bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati pendahulunya”.
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden ke-2 RI Soeharto sungguh menjadi peristiwa bersejarah yang akan tercatat dalam lembaran sejarah bangsa. Selama 32 tahun kepemimpinannya, Soeharto telah memberikan kontribusi signifikan dalam stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi Indonesia. Namun demikian, keputusan ini jelas memunculkan perdebatan sengit di tengah masyarakat.
Undoubtedly, penganugerahan yang bertepatan dengan Hari Pahlawan 2025 ini juga menandai pengakuan terhadap sembilan tokoh lainnya dari berbagai latar belakang dan daerah, termasuk Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) serta aktivis buruh Marsinah. Kehadiran para ahli waris dalam upacara di Istana Negara menambah khidmat acara yang dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto.
Meskipun pemerintah menekankan bahwa proses seleksi telah melalui tahapan berlapis dan pertimbangan matang, sebagian masyarakat tetap mempertanyakan kelayakan Soeharto menyandang gelar tersebut. Primarily, kritik berpusat pada isu pelanggaran HAM dan praktik KKN selama era Orde Baru. Therefore, kita melihat munculnya petisi penolakan dan aksi damai dari berbagai elemen masyarakat.
Di sisi lain, pendukung keputusan ini menyoroti prestasi Soeharto dalam membangun ketahanan ekonomi, mencapai swasembada beras, dan menciptakan stabilitas nasional. While this may be true, sejarah bangsa Indonesia memang tidak pernah hitam-putih, melainkan penuh nuansa kompleks yang memerlukan kematangan berpikir dalam menilainya.
Pada akhirnya, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan sekadar tentang mengakui atau mengabaikan sisi gelap sejarah, melainkan bagaimana kita sebagai bangsa belajar melihat masa lalu secara utuh. Indeed, momen bersejarah ini menjadi cerminan perjalanan Indonesia dalam mendefinisikan ulang hubungan dengan sejarahnya sendiri, sekaligus menghadirkan ruang dialog terbuka tentang masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.