
Juliari Batubara, mantan Menteri Sosial Indonesia, ternyata terlibat dalam kasus korupsi yang mencengangkan saat pandemi COVID-19 melanda. Ketika jutaan warga Indonesia membutuhkan bantuan, Juliari justru terbukti menerima dana suap sebesar Rp32,48 miliar dalam perkara pengadaan bantuan sosial COVID-19. Kasus ini bukan hanya tentang angka yang fantastis, namun juga pengkhianatan terhadap kepercayaan publik saat krisis.
Dalam kasus korupsi juliari batubara ini, KPK mengungkap kerugian keuangan negara yang mencapai Rp200 miliar. Selain itu, kasus mensos Juliari Batubara ini terkait dengan pembagian 5 juta bantuan sosial di 15 provinsi.
Sebagai akibatnya, Juliari divonis 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan penjara. Dana yang diterima berasal dari berbagai pihak, termasuk Rp1,28 miliar dari Harry Van Sidabukke, Rp1,95 miliar dari Ardian Iskandar Maddanatja, dan sisanya dari vendor bansos COVID-19 lainnya.
Secara mengejutkan, dalam proyek penyaluran bansos beras, satu perusahaan saja yaitu PT DNRL mendapat kontrak sebesar Rp335 miliar dari Kementerian Sosial. KPK menemukan bahwa proyek ini telah memperkaya PT DNRL sebesar Rp108,48 miliar. Kita akan melihat lebih dalam bagaimana korupsi bansos juliari batubara ini terjadi, siapa saja yang terlibat, dan bagaimana proses hukum yang telah berjalan.
KPK kembali memeriksa mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara pada Selasa (4/11/2025). Pemeriksaan dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang. Kali ini, Juliari diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi penyaluran bantuan sosial beras untuk Keluarga Penerima Manfaat pada Program Keluarga Harapan tahun anggaran 2020.
Selama pemeriksaan, mantan mensos Juliari Batubara mengakui telah menerima aliran dana dari proyek bansos COVID-19. Sebelumnya, dalam kasus korupsi yang menyeretnya ke penjara, Juliari terbukti menerima fee sebesar Rp10.000 per paket bansos dan tambahan Rp1.000 per paket untuk biaya operasional. Total suap yang diterima dalam kasus sebelumnya mencapai Rp17 miliar.
Pemeriksaan ini merupakan pengembangan dari kasus korupsi bansos yang telah menjerat tiga tersangka perorangan dan dua tersangka korporasi pada 19 Agustus 2025. Menurut juru bicara KPK Budi Prasetyo, kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi tersebut diperkirakan mencapai Rp200 miliar.
Nama Juliari Batubara sebelumnya telah disebut oleh tersangka lain dalam kasus ini, yakni Edi Suharto (ES), mantan Staf Ahli Menteri Sosial sekaligus Dirjen Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial pada 2020. Edi mengklaim dirinya hanya menjalankan perintah Juliari untuk melaksanakan program bantuan sosial beras tahun 2020.
Komisi Pemberantasan Korupsi terus menggali aliran dana dalam kasus korupsi bantuan sosial COVID-19. Berdasarkan perhitungan awal penyidik, kasus yang melibatkan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara ini telah merugikan negara sekitar Rp200 miliar. Angka tersebut masih mungkin berubah seiring perkembangan proses penyidikan.
Dalam proyek penyaluran bantuan sosial beras, PT Dosni Roha Logistik (DNRL) mendapat kontrak sebesar Rp335.056.761.900 dari Kementerian Sosial. KPK menemukan bahwa proyek ini telah memperkaya perusahaan tersebut sebesar Rp108.480.782.934.
Nilai kerugian negara dihitung dari selisih antara nilai kontrak PT DNRL dengan Kemensos dan harga penawaran Perum Bulog kepada Kementerian Sosial sebesar Rp113.964.885.000, sehingga total kerugian mencapai Rp221.091.876.900.
Secara mengejutkan, PT DNRL kemudian meneruskan hampir seluruh keuntungan tersebut kepada pemegang saham mayoritas sekaligus induk perusahaan, yakni PT Dosni Roha melalui dividen sebesar Rp101.010.101.010. Sisa keuntungan sebesar Rp7.470.681.928 diterima sendiri oleh PT DNRL.
Selain itu, KPK juga mengungkap ada 6 perusahaan subkontraktor yang menerima keuntungan tidak sah dalam kasus korupsi juliari batubara ini. KPK mengatakan akan menelusuri ke mana saja uang negara tersebut mengalir dan meminta pertanggungjawaban dari pihak-pihak terkait.
KPK juga menyelidiki kasus Bansos Presiden yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp125 miliar hingga Rp250 miliar. Kasus tersebut terkait dengan pengadaan Bansos Presiden tahap 3, 5, dan 6 yang ditujukan untuk wilayah Jabodetabek pada masa pandemi COVID-19.
Daftar nama dalam kasus korupsi bansos juliari batubara semakin panjang. KPK telah menetapkan lima tersangka baru terkait penyaluran bansos beras untuk Program Keluarga Harapan (PKH) tahun 2020, terdiri dari tiga orang dan dua korporasi. Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo alias Rudy Tanoe, Komisaris Utama PT Dosni Roha Logistik, menjadi tersangka utama. KPK menyebut Rudy bersama mantan menteri sosial juliari batubara merekayasa indeks harga penyaluran bansos beras dengan menetapkan harga Rp1.500/kg tanpa kajian yang profesional.
Tersangka perorangan lainnya adalah Edi Suharto, Staf Ahli Menteri Sosial Bidang Perubahan dan Dinamika Sosial, dan Kanisius Jerry Tengker, mantan Direktur Utama PT Dosni Roha Logistik periode 2018-2022. Sementara itu, PT Dosni Roha Indonesia dan PT Dosni Roha Logistik ditetapkan sebagai tersangka korporasi.
KPK mencegah empat orang bepergian ke luar negeri selama enam bulan sejak 12 Agustus 2025, termasuk ketiga tersangka di atas ditambah Herry Tho, Direktur Operasional DNR Logistics periode 2021-2024.
Dalam kasus korupsi juliari batubara sebelumnya, KPK telah menetapkan Matheus Joko Santoso, Adi Wahyono, Ardian I M dan Harry Sidabuke sebagai tersangka pemberi suap. Mereka menyetorkan fee Rp10.000 per paket sembako dari nilai Rp300.000 per paket bansos kepada Kemensos melalui Matheus.
Kasus korupsi bantuan sosial COVID-19 yang melibatkan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara jelas menunjukkan penyelewengan dana publik yang seharusnya digunakan untuk membantu masyarakat selama masa krisis. Undoubtedly, praktik korup ini telah merugikan negara sekitar Rp200 miliar dan mengakibatkan bantuan yang tidak optimal bagi mereka yang membutuhkan. Aliran dana yang diterima Juliari mencapai Rp32,48 miliar, dengan rincian fee Rp10.000 per paket bansos ditambah Rp1.000 untuk biaya operasional.
Selain itu, pengungkapan KPK mengenai keterlibatan PT Dosni Roha Logistik yang mendapat kontrak sebesar Rp335 miliar dan memperoleh keuntungan tidak wajar sebesar Rp108,48 miliar menggambarkan betapa sistematis praktik korupsi ini dijalankan. Accordingly, KPK telah menetapkan lima tersangka baru, termasuk tiga orang dan dua korporasi, yang diduga terlibat dalam rekayasa indeks harga penyaluran bansos beras.
Meanwhile, Juliari telah dijatuhi hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan penjara atas perbuatannya. Nevertheless, kasus ini masih terus berkembang dengan pemeriksaan lanjutan terhadap Juliari sebagai saksi untuk kasus penyaluran bantuan beras Program Keluarga Harapan.
Ultimately, kasus korupsi bansos COVID-19 ini menjadi pengingat pahit bagaimana dana yang seharusnya membantu jutaan warga Indonesia yang terdampak pandemi justru disalahgunakan oleh mereka yang dipercaya mengelolanya. Therefore, penindakan hukum yang tegas dan transparansi yang lebih baik dalam pengelolaan dana bantuan sosial menjadi pelajaran penting untuk mencegah praktik serupa di masa mendatang.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.