
Tahukah Anda bahwa pembelajaran dengan pendekatan CRT dirancang dengan mengacu pada kebutuhan kontekstual siswa telah terbukti meningkatkan hasil belajar secara dramatis? Dari data penelitian terkini, persentase peserta didik yang mencapai KKTP meningkat dari 70,5% pada pra-siklus menjadi 90,5% pada siklus II.
Selain itu, keaktifan belajar siswa juga meningkat signifikan dari 71% menjadi 91,5%. Bahkan pada kasus lain, ketuntasan hasil belajar yang awalnya hanya 10,7% berhasil ditingkatkan hingga mencapai 82,1% setelah penerapan pendekatan ini.
Pendekatan CRT adalah strategi pembelajaran yang berpusat pada penghargaan terhadap latar belakang budaya siswa. CRT artinya Culturally Responsive Teaching, sebuah pendekatan yang dikembangkan oleh Geneva Gay untuk menciptakan pembelajaran yang relevan dengan konteks budaya siswa.
Pendekatan Culturally Responsive Teaching memiliki beberapa aspek utama seperti integrasi konten (89%), pengembangan akademik (92%), pengurangan prasangka (94%), konstruksi pengetahuan (95%), dan keadilan sosial (89%).
Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana pendekatan CRT dapat dirancang dan diimplementasikan dalam konteks pembelajaran di Indonesia.
Kita akan membahas kebutuhan kontekstual dalam pembelajaran abad 21, pengertian dan tujuan CRT secara mendalam, perancangan pembelajaran berbasis CRT, media pendukung, implementasi dalam siklus pembelajaran, hingga evaluasi efektivitasnya.
Dengan pemahaman yang komprehensif tentang pendekatan ini, kita dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang tidak hanya akademis tetapi juga kultural.
Perubahan paradigma pendidikan di era modern membutuhkan pendekatan yang lebih relevan dengan kehidupan nyata siswa. Pembelajaran kontekstual tidak lagi sekadar pilihan, tetapi menjadi kebutuhan mendasar dalam sistem pendidikan abad 21.
Pada hakikatnya, pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching Learning) menyandarkan pada pemahaman makna dan pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan nyata peserta didik.
Tantangan pendidikan di era digital membutuhkan fondasi kuat berupa penguasaan literasi dasar. World Economic Forum pada tahun 2015 telah menetapkan enam jenis literasi dasar yang penting untuk dikuasai, tidak hanya oleh peserta didik tetapi juga oleh seluruh warga masyarakat. Keenam literasi tersebut mencakup:
Literasi budaya merupakan kemampuan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa. Sementara itu, literasi kewargaan adalah kemampuan dalam memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Kedua jenis literasi ini menjadi sangat penting untuk dikuasai dalam konteks bangsa Indonesia yang memiliki beragam suku, bahasa, kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan, dan lapisan sosial.
Dalam konteks pembelajaran abad 21, literasi digital menjadi kecakapan hidup (life skills) yang tidak semata-mata melibatkan kemampuan menggunakan perangkat teknologi informasi dan komunikasi.
Namun juga mencakup kemampuan bersosialisasi, kemampuan pembelajaran, kemampuan berpikir kritis, kreatif, serta inspiratif sebagai kompetensi digital. Dengan demikian, literasi digital dan budaya membekali siswa dengan kemampuan untuk berkolaborasi, berpikir kritis, dan berkomunikasi sehingga dapat memenangi persaingan global.
Menurut data terkini, Indonesia masih berada dalam posisi memprihatinkan dalam hal literasi. Negara kita menempati ranking ke-62 dari 70 negara atau berada dalam 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. Fakta ini menunjukkan urgensi untuk membangun fondasi literasi yang kuat dalam sistem pendidikan kita.
Meskipun pemerintah telah berupaya meningkatkan mutu pendidikan, masih terdapat kesenjangan signifikan antara materi ajar dan realitas yang dihadapi siswa. Akar ketimpangan ini sering kali tertanam dalam kondisi sosial-ekonomi keluarga yang secara langsung memengaruhi kesempatan dan kualitas pendidikan yang dapat diakses seorang anak.
Data Angka Partisipasi Kasar (APK) sekolah menengah dari Badan Pusat Statistik secara konsisten menunjukkan bahwa anak dari keluarga kuintil 1 (20% termiskin) memiliki probabilitas lebih rendah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Situasi ini menciptakan jurang pemisah dalam akses pendidikan berkualitas.
Pandemi Covid-19 telah mengubah wajah pendidikan Indonesia menjadi lebih adaptif terhadap perkembangan zaman. Namun, adaptasi ini tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Tidak semua sekolah memiliki akses terhadap fasilitas belajar yang mendukung pengalaman langsung, seperti laboratorium, teknologi, atau hubungan dengan komunitas lokal. Di daerah tertinggal, kondisi ini diperparah oleh keterbatasan infrastruktur dan jumlah tenaga pendidik yang memadai.
Kurikulum yang kaku dan terlalu padat juga menyulitkan penerapan pembelajaran kontekstual. Para guru sering merasa terikat dengan tuntutan menyelesaikan target materi, sehingga waktu untuk eksplorasi, diskusi, dan pembelajaran berbasis proyek menjadi sangat terbatas. Keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam proses pendidikan juga belum optimal, padahal pendidikan kontekstual memerlukan dukungan lingkungan belajar yang luas, bukan hanya di ruang kelas.
Untuk menjembatani kesenjangan ini, pembelajaran dengan pendekatan CRT dirancang dengan mengacu pada konteks budaya dan realitas siswa. Para guru tidak perlu merasa ragu dalam menggunakan seluruh potensi yang ada guna mengembangkan bahan ajar secara kreatif, inovatif, inspiratif, dan formatif. Melalui kebebasan dalam mengajar, guru dapat mengembangkan potensi siswa sesuai kemampuannya dan membuat pembelajaran lebih kontekstual dengan situasi yang dihadapi siswa.
Pendekatan Culturally Responsive Teaching (CRT) hadir sebagai jawaban atas kebutuhan pembelajaran kontekstual yang relevan dengan latar belakang budaya peserta didik. Melalui pendekatan ini, pembelajaran dirancang dengan mengacu pada keragaman budaya yang ada di lingkungan kelas. Sebelum mengimplementasikannya, penting bagi kita untuk memahami apa itu CRT dan tujuan penerapannya dalam dunia pendidikan.
Secara konseptual, Culturally Responsive Teaching (CRT) adalah pendekatan pembelajaran yang mengakui, menghargai, dan mengintegrasikan budaya siswa ke dalam proses pembelajaran. Pendekatan ini dipopulerkan oleh Geneva Gay, seorang pakar pendidikan yang mendefinisikan CRT sebagai “cara menggunakan pengetahuan budaya, pengalaman, dan gaya kinerja peserta didik yang beragam untuk dapat menimbulkan pengalaman belajar yang bermakna”.
Pada dasarnya, pendekatan CRT menekankan pada keterkaitan antara pendidikan dan dimensi sosial budaya peserta didik. Pendekatan ini tidak hanya sekadar mengakui perbedaan, tetapi juga tentang bagaimana menggunakannya sebagai kekuatan dalam proses belajar-mengajar.
Gay yang merupakan penggagas konsep culturally responsive/relevant pedagogy, mengemukakan prinsip dasar CRT yaitu terwujudnya hubungan mitra antara pendidik (guru) dan peserta didik dalam mencapai pembelajaran yang lebih baik. Dengan demikian, guru harus menyadari bahwa pembelajaran tidak hanya mementingkan prestasi akademik, tetapi juga mempertahankan identitas budaya peserta didik.
Menurut Gay (2000), terdapat lima elemen penting dalam pendekatan CRT:
Selain itu, pendekatan CRT merupakan pendekatan pembelajaran yang menghendaki adanya persamaan hak setiap peserta didik untuk mendapatkan pengajaran tanpa membedakan latar belakang budaya peserta didik. Pendekatan ini menjadi cara komprehensif untuk membekali guru dalam mengajar peserta didik di lingkungan yang berlatar belakang budaya yang berbeda-beda.
Tujuan utama CRT bukan hanya meningkatkan prestasi akademik, melainkan juga membantu siswa menerima dan memperkuat identitas budayanya. Melalui pendekatan ini, siswa diharapkan dapat mengakui, menerima, dan memperkuat identitas budaya mereka.
Pendekatan CRT bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif karena setiap siswa merasa dihargai dan diakui dalam keberagaman mereka. Namun, tujuan CRT tidak berhenti pada pengakuan keberagaman saja. CRT juga bertujuan untuk:
Ketika siswa merasa budaya mereka dihargai, mereka akan lebih termotivasi dan aktif dalam proses pembelajaran. Pendekatan CRT membantu mengurangi kesenjangan akademik dengan memastikan bahwa semua siswa memiliki akses yang adil terhadap pembelajaran yang bermakna.
Lebih jauh lagi, pendekatan CRT membantu dalam membangun identitas dan kepercayaan diri siswa. Ketika siswa melihat budaya mereka diakui dan dihargai dalam pembelajaran, mereka merasa lebih dihormati dan diterima di lingkungan sekolah. Hal ini dapat berdampak positif pada kesejahteraan emosional dan psikologis siswa sehingga meningkatkan rasa percaya diri dan keterlibatan mereka dalam proses belajar.
Dengan menerapkan CRT, siswa dari berbagai latar belakang mendapatkan kesempatan belajar yang setara. Penerapan pengajaran responsif budaya dapat meningkatkan partisipasi siswa dalam pembelajaran, terutama pada mata pelajaran tertentu seperti Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial (IPAS).
Secara keseluruhan, pembelajaran dengan pendekatan CRT dirancang dengan mengacu pada penghargaan terhadap keragaman budaya, penguatan identitas budaya siswa, dan penciptaan lingkungan belajar yang inklusif. Melalui pendekatan ini, guru tidak hanya mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga menciptakan lingkungan yang inklusif dan menghormati keberagaman.
Merancang pembelajaran dengan pendekatan Culturally Responsive Teaching (CRT) memerlukan perhatian khusus terhadap integrasi budaya lokal. Pendekatan ini bukan sekadar menambahkan elemen budaya sebagai hiasan, melainkan menggunakannya sebagai fondasi dalam proses pembelajaran. Dalam bagian ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana budaya lokal dapat diintegrasikan ke dalam perencanaan pembelajaran dan langkah-langkah konkret menyusun RPP berbasis CRT.
Kearifan lokal merupakan sumber pengetahuan kebudayaan masyarakat yang terdapat dalam tradisi, sejarah, seni, agama, dan dunia pendidikan formal maupun informal. Pada dasarnya, hampir setiap kelompok dalam masyarakat memiliki nilai kearifan lokal masing-masing yang dapat memperkaya proses pembelajaran.
Dalam konteks pembelajaran berbasis CRT, integrasi nilai budaya lokal dapat dilakukan melalui beberapa strategi. Pertama, melalui penyisipan pengetahuan budaya lokal pada materi pembelajaran. Sebagai contoh, di SDN Sembilan Rangkang, guru kelas berusaha menyisipkan pengetahuan budaya lokal dalam proses pembelajaran yang berlangsung di kelas. Kedua, melalui pemberian contoh konkret yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Di SDS Amkur Bengkayang, guru telah mengintegrasikan budaya lokal pada mata pelajaran PKn, IPA, dan Mulok.
Menurut penelitian, integrasi kearifan lokal dalam perencanaan pembelajaran dapat memperkaya materi ajar dan metode pengajaran, meningkatkan relevansi pembelajaran dengan konteks lokal, serta membantu pengembangan kurikulum yang lebih inklusif dan adaptif. Namun demikian, perlu disadari bahwa integrasi ini juga menghadapi beberapa hambatan seperti ketidaktahuan, ketidaksesuaian dengan kebutuhan global, resistensi terhadap perubahan, dan keterbatasan sumber daya.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, beberapa pendekatan dapat diterapkan seperti pendidikan dan sosialisasi tentang pentingnya kearifan lokal, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan, serta penguatan institusi lokal. Oleh karena itu, guru perlu memahami dan mengidentifikasi kearifan lokal di daerahnya masing-masing sebagai bahan pengayaan dalam perancangan pembelajaran.
Setelah memahami pentingnya integrasi budaya lokal, berikut adalah langkah-langkah konkret dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) berbasis CRT:
Dalam implementasi CRT, penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan mendukung. Guru perlu membangun hubungan yang kuat dengan peserta didik serta menghargai keberagaman budaya di kelas melalui berbagai kegiatan. Selain itu, pendekatan CRT dapat diterapkan dalam konten atau materi ajar melalui kegiatan intrakurikuler maupun kokurikuler.
Dengan demikian, pembelajaran responsif budaya menjadi salah satu teori dan strategi yang dapat dipilih oleh guru dalam merancang dan melakukan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik. Pembelajaran ini akan bermakna jika dilakukan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan latar belakang murid, sehingga guru dapat melakukan penyesuaian-penyesuaikan sesuai dengan keragaman murid-murid.
Media visual memiliki kekuatan luar biasa dalam mendukung pembelajaran berbasis pendekatan CRT. Di antara berbagai media pembelajaran yang dapat digunakan, Culture Card hadir sebagai solusi inovatif yang mengintegrasikan elemen budaya lokal dalam proses pembelajaran. Media ini tidak hanya berfungsi sebagai alat bantu visual, tetapi juga menjembatani kesenjangan antara materi pembelajaran dengan konteks budaya peserta didik.
Culture Card Dongkrek digital adalah media berbentuk kartu digital yang diintegrasikan dalam pendidikan untuk menggabungkan budaya lokal ke dalam praktik pembelajaran. Media ini menggabungkan gambar dan bahasa tulis untuk menyampaikan pesan atau cerita yang berfokus pada kebudayaan daerah, khususnya kesenian Dongkrek. Sebagai bentuk komunikasi visual yang menyatukan elemen gambar, narasi, dan ekspresi karakter, Culture Card mendorong peserta didik untuk berpikir secara naratif dan kreatif.
Penggunaan Culture Card Dongkrek sebagai media pembelajaran tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga memuat konten lokal yang akrab bagi siswa. Media ini menyajikan materi secara menarik, ringkas, dan kontekstual sehingga memiliki daya tarik tersendiri bagi peserta didik. Dengan demikian, pembelajaran dengan pendekatan CRT dirancang dengan mengacu pada konteks budaya lokal yang disajikan melalui media visual.
Keunikan Culture Card Dongkrek terletak pada kemampuannya menghubungkan peserta didik dengan akar budaya mereka. Melalui gambar-gambar yang disajikan, peserta didik dapat menemukan konteks yang jelas sehingga dapat menyesuaikan pemilihan kata dan gaya bahasa secara tepat dalam kegiatan menulis. Selain itu, media ini memberikan ruang bagi peserta didik untuk mengekspresikan ide secara bebas tanpa terbebani oleh format penulisan yang kaku.
Penelitian menunjukkan bahwa penerapan pendekatan CRT dengan media Culture Card Dongkrek efektif meningkatkan keterampilan menulis dan menyampaikan teks anekdot. Hasil ini selaras dengan temuan bahwa media visual efektif dalam meningkatkan pemahaman siswa mengenai materi budaya, karena sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak yang berada pada tahapan operasional konkret.
Beberapa manfaat penggunaan visualisasi budaya dalam pembelajaran menulis teks anekdot antara lain:
Riset lain mengungkapkan bahwa penggunaan media gambar untuk materi budaya menghasilkan peningkatan yang signifikan setelah penggunaan media visual, dengan nilai korelasi R = 0,719. Hal ini menegaskan bahwa visualisasi budaya melalui media seperti Culture Card mampu mendukung pembelajaran kontekstual yang mendorong siswa untuk lebih memahami dan menghargai keberagaman budaya yang ada di Indonesia.
Dengan menggabungkan pendekatan CRT dan media Culture Card Dongkrek, peserta didik dapat lebih mudah menemukan ide, memahami struktur teks, serta menggunakan gaya bahasa yang sesuai teks anekdot, sekaligus mengembangkan keterampilan menulis mereka melalui pengalaman yang kontekstual dan bermakna. Oleh karena itu, pendekatan CRT melalui media Culture Card Dongkrek digital terbukti mampu meningkatkan keterampilan menulis dan mendorong partisipasi aktif peserta didik dalam pembelajaran.
Penerapan pendekatan Culturally Responsive Teaching (CRT) dalam praktik pembelajaran memerlukan mekanisme yang terstruktur dan sistematis. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) menjadi metode yang efektif untuk mengimplementasikan pendekatan ini karena memungkinkan guru melakukan perbaikan berkelanjutan berdasarkan refleksi dari setiap siklus pembelajaran.
Model PTK Kemmis dan McTaggart menyediakan kerangka yang sistematis untuk menerapkan pendekatan CRT dalam pembelajaran. Model ini terdiri dari empat tahapan penting dalam setiap siklusnya:
Pertama, pada tahap perencanaan, guru menyiapkan modul ajar dan perangkat pembelajaran yang menerapkan pendekatan CRT. Kemudian, guru menyusun materi pembelajaran yang relevan dengan konteks budaya peserta didik dan menyiapkan media pendukung yang sesuai. Tahapan ini sangat penting karena pembelajaran dengan pendekatan CRT dirancang dengan mengacu pada hasil asesmen awal terhadap karakteristik peserta didik.
Pada tahap pelaksanaan, pendekatan CRT diterapkan dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas. Oleh karena itu, guru perlu memastikan bahwa aktivitas pembelajaran melibatkan aspek budaya lokal yang relevan dengan materi. Pada saat yang sama, observasi dilakukan untuk mencatat keterlibatan dan respons peserta didik menggunakan lembar observasi dan dokumentasi.
Tahap refleksi menjadi kunci dalam model ini karena memberikan kesempatan bagi guru untuk menganalisis efektivitas pendekatan CRT yang telah diterapkan dan merencanakan perbaikan untuk siklus berikutnya. Siklus ini biasanya berlanjut hingga kriteria keberhasilan tercapai, misalnya ketika ketuntasan belajar klasikal mencapai 85%.
Sebagai contoh konkret, penerapan pendekatan CRT menggunakan model PTK Kemmis dan McTaggart telah berhasil meningkatkan hasil belajar siswa kelas X-5. Pada siklus I, pembelajaran dengan pendekatan CRT mulai diterapkan dengan mengintegrasikan elemen budaya lokal ke dalam materi pembelajaran.
Pada siklus I, hasil observasi menunjukkan bahwa 66% siswa berpartisipasi secara aktif dan 55% siswa menunjukkan keterlibatan yang sangat baik dalam pembelajaran. Selain itu, hasil tes formatif menunjukkan bahwa 76% siswa memperoleh nilai yang baik. Namun, angka ini belum mencapai kriteria keberhasilan yang ditetapkan.
Berdasarkan refleksi pada siklus I, perbaikan dilakukan untuk siklus II. Menurut data penelitian lain, ketuntasan belajar pada siklus I hanya mencapai 78,26% dengan nilai rata-rata 84,17. Setelah dilakukan perbaikan dan pengembangan strategi pembelajaran pada siklus II, terjadi peningkatan yang signifikan.
Pada siklus II, ketuntasan belajar meningkat menjadi 91,30% dengan nilai rata-rata 91,69. Data ini sejalan dengan penelitian lain yang menunjukkan peningkatan dari 57% pada siklus I menjadi 85% pada siklus II. Temuan ini menegaskan bahwa penerapan pendekatan CRT yang mengaitkan materi pembelajaran dengan budaya lokal mampu meningkatkan pemahaman peserta didik secara signifikan.
Kunci keberhasilan implementasi pendekatan CRT dalam PTK terletak pada kemampuan guru mengintegrasikan konteks budaya peserta didik ke dalam setiap tahapan pembelajaran. Sebagai hasilnya, pendekatan CRT terbukti memberikan dampak positif terhadap minat belajar dan keterlibatan siswa. Temuan ini mendukung prinsip bahwa pembelajaran akan lebih bermakna ketika dirancang dengan mengacu pada konteks budaya dan pengalaman hidup peserta didik.
Bukti empiris menjadi kunci dalam menilai efektivitas pendekatan CRT. Berbagai penelitian tindakan kelas telah menunjukkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan CRT yang dirancang dengan mengacu pada konteks budaya peserta didik memberikan dampak signifikan terhadap kompetensi siswa.
Penerapan pendekatan CRT secara konsisten menunjukkan peningkatan nilai akademik siswa. Pada satu studi, persentase peserta didik yang mencapai KKTP meningkat dari 70,5% pada pra-siklus menjadi 81,1% pada siklus I dan 90,5% pada siklus II. Selain itu, keaktifan belajar siswa juga meningkat signifikan dari 71% menjadi 91,5%. Kenaikan kedua indikator tersebut sekitar 28%, membuktikan peningkatan berarti dalam aspek akademik dan partisipasi aktif.
Penelitian lain di bidang ekonomi menunjukkan peningkatan keaktifan siswa dari 44,9% menjadi 80,1%, serta peningkatan minat belajar dari skor rata-rata 3,4 menjadi 4,2. Bahkan, studi pada pembelajaran membaca berbasis budaya Semarang menunjukkan hasil uji n-gain kelas eksperimen (0,5131) lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol (0,1552).
Dalam penelitian tindakan kelas pada siswa SD, persentase keaktifan meningkat dari 50,86% pada pra-siklus menjadi 63,10% pada siklus I dan mencapai 81,02% pada siklus II. Peningkatan sebesar 17,92% dari siklus I ke siklus II menunjukkan efektivitas pendekatan CRT dalam jangka panjang.
Keberhasilan pendekatan CRT tidak hanya diukur dari nilai, tetapi juga kualitas hasil belajar. Beberapa indikator keberhasilan meliputi:
Penerapan CRTT (Culturally Responsive Transformative Teaching) menunjukkan korelasi positif dengan nilai karakter (r = 0,338) dan identitas budaya (r = 0,512). Selanjutnya, hasil uji validitas instrumen penelitian menunjukkan bahwa item yang digunakan untuk mengukur identitas budaya valid (r hitung = 0,354 > r tabel = 0,304).
Berdasarkan data dari berbagai penelitian, pendekatan CRT tidak hanya efektif meningkatkan nilai akademik dan keaktifan, tetapi juga memperkuat identitas budaya siswa. Dengan demikian, pendekatan CRT menjadi strategi pembelajaran yang komprehensif dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, relevan, dan bermakna.
Pembelajaran dengan pendekatan CRT telah membuktikan keunggulannya sebagai strategi pembelajaran yang efektif dan komprehensif. Berdasarkan pembahasan di atas, jelas bahwa pendekatan yang dikembangkan oleh Geneva Gay ini tidak sekadar mengakui keberagaman budaya, tetapi secara aktif mengintegrasikannya ke dalam proses pembelajaran. Hasilnya sungguh mengesankan—peningkatan ketuntasan belajar dari 70,5% menjadi 90,5%, serta kenaikan keaktifan siswa dari 71% menjadi 91,5%.
Namun demikian, keberhasilan pendekatan CRT tidak terjadi begitu saja. Pendekatan ini memerlukan perancangan yang matang dengan mengacu pada konteks budaya peserta didik. Mulai dari analisis situasi kelas, identifikasi kearifan lokal, hingga penyusunan RPP yang responsif budaya—semua tahapan ini menjadi kunci implementasi CRT yang efektif.
Selain itu, penggunaan media pendukung seperti Culture Card memperkaya proses pembelajaran dengan visualisasi budaya yang kontekstual. Media ini terbukti membantu siswa menemukan ide, memahami struktur teks, dan mengembangkan keterampilan menulis melalui pengalaman yang bermakna.
Penerapan model PTK Kemmis dan McTaggart memungkinkan guru melakukan perbaikan berkelanjutan dalam implementasi CRT. Melalui siklus perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi, kualitas pembelajaran terus meningkat dari satu siklus ke siklus berikutnya.
Pada akhirnya, pembelajaran dengan pendekatan CRT bukan hanya tentang peningkatan nilai akademik. Lebih dari itu, pendekatan ini memperkuat identitas budaya siswa, menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, dan membangun fondasi literasi yang kuat untuk menghadapi tantangan abad 21.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita sebagai pendidik mengadopsi pendekatan CRT secara lebih luas dalam sistem pendidikan kita. Dengan menghargai keberagaman budaya dan menjadikannya sebagai kekuatan dalam pembelajaran, kita dapat menciptakan pengalaman belajar yang bermakna, kontekstual, dan berdampak jangka panjang bagi peserta didik.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.